Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Lelaki Terakhir (Cerita Pendek)

Wanita itu duduk diberanda rumahnya. Menatap ke arah jalan raya. Ia duduk di sebuah kursi kayu jati, kursi itu memang menjadi tempat favoritnya ketika ia menunggu kekasihnya. Setiap malam minggu tiba. Gana selalu datang membawakan roti pisang atau makanan ringan yang disukai oleh kekasihnya. Gana selalu bilang kepada kekasihnya, “Roti dan pisang itu adalah sepasang yang unik, sama seperti kita, Zustika. Aku roti dan kamu pisang.”      Segala sesuatu yang Zustika ingin, pasti Gana selalu mengabulkannya. Sepertinya memang begitu sifat lelaki itu, ia sangat menghargai kekasihnya. Gana tak akan tega jika menolak keinginannya. Tak heran kalau teman-teman Gana memberi gelar budak cinta . Namun, pada dasarnya memang Gana orang yang selalu baik. Dia tak pernah marah ketika kekasihnya terlalu egois. Banyak juga yang membicarakan hubungan mereka dikampus. “Pasangan paling aneh.” Kata mereka. Zustika Tamara   wanita paling egois, dan Gana Baskara Putra pria yang terlal...

Kenang yang Tak Pernah Hilang

Dulu sebelum kepergianmu, aku sempat percaya. Bahwa aku memang satu-satunya yang kau pinta. Dulu sebelum engkau memilih beranjak pergi, aku sempat yakin bahwa malaikat menjaga agar cinta kita saling melengkapi. Aku kira memang seperti itu takdirnya, pun nyatanya hanya semata-mata bualan saja. Pada saat itu, kau dan aku pernah menjadi sepasang temu yang saling membahagiakan. Sebelum akhirnya kita saling melupakan. Kini, kau sudah tertawa bersama dirinya. Tunggu. Bukan hanya kau saja yang sedang tertawa, pun aku juga sedang tertawa. Iya. Menertawakan perihal luka. Jadi sebelum bulan dan gemintang kembali hilang, sekarang aku hanya ingin mengenang. Tentang apa-apa yang sudah terlewati, tentang bahagia yang sudah terhenti. Karena setelah mengingat luka ini, aku kembali bersembunyi. Bersembunyi dalam topeng bahagia yang sebetulnya hanya sebatas pura-pura. Kembali lagi mengecap sunyi dalam setiap keramaian. Bersandiwara lagi dibalik kesengsaraan. 

Kau

Cepat atau lambat memang semuanya akan terasa begitu menyakitkan. Kau benar, aku rindu. Dan kau sudah tak mau tahu. Bahagia yang sudah terhenti kini menjelma menjadi rindu yang tak mau pergi. Kenapa datang jikalau akhirnya kau tenggelamkan aku? Apakah kau puas sekarang? Aku yang terus bersikukuh menahan luka dihati, dan kau, pergi dengan begitu berani. Kau manusia yang aku puja setengah mati, puaskah kau membuatku tak berarti? Sungguh, kau telah merenggut senyumku, kau telah membunuh hatiku, dan kau telah menusuk sembilu ke dalam jiwaku. Kau pergi, lagi dan lagi. Sempurna. Kini aku merindukan hal-hal kecil yang pernah kita lewati, bukan untuk mengulangnya kembali. Hanya saja ingin mengingat kebahagiaanku yang telah kau hempaskan ke jurang yang begitu dalam. Masa lalu itu sepatutnya jangan dibenci, dan tak ada yang perlu disesali. Barangkali ketika luka ini telah pulih, aku bukan lagi orang yang memujamu sampai tertatih. Kini kau adalah kisah yang tak perlu kembali.

Kita

Kita ini apa? Hanya dipertemukan bukan untuk saling menyatukan. Kenapa harus seperti ini? Kita saling kenal, tetapi, Tuhan tidak membuatnya menjadi satu. Kita hanya terjebak dalam permainan perasaan, atau mungkin hanya aku yang terjebak? Sedangkan engkau, hanya terlihat biasa saja, hanya menganggap pertemuan kita ini hanyalah biasa. Tapi, aku yang selalu berharap kita bisa sama-sama menjalin komitmen, agar kelak kau dan aku saling menjaga dan punya tujuan yang sama. Tidak seperti ini, hanya tenggelam dalam permainan perasaan yang terus menertawakan. Jika memang ini yang terbaik dan jika memang ini pilihanNya. Tak apa, satu hal yang aku syukuri karena bisa dipertemukan olehmu, dan pernah bersatu dalam doa, walaupun pada kenyataanya kita tidak pernah dipersatukan dalam takdirNya. Hanya sebatas mimpi. Kini biarlah aku yang menerima, walaupun air mata ini menahan agar tidak berjatuhan, kini aku sekarang bagaikan teriris sembilu. Aku rela menahan, asalkan kau tidak tahu apa yan...

Resah

Kali ini saja beberapa hati sedang resah, entah karena sudah tak lagi punya rasa atau hanya diabaikan tanpa arah. Sebuah tunggu tanpa di tunggu. Keresahan yang menjelma menjadi kekesalan yang tak kunjung temu. Hanya karena kau sukar untuk di temukan, kemudian resah ini menjadi tak beraturan.  Hanya bisa bungkam, dan memendam dalam harapan yang di rengkuh temaram. Kau jernih diantara buram, kau nyata diantara pudar. Namun kau menanggalkan dan aku keresahan. Sudah tak ada lagi rasa. Hanya resah yang terus berdatangan, mengutuk diri dalam hati yang semakin gundah.

Antara

Apakah ada aku jauh di ruang hatimu? Apakah kau tahu? Dalam hatimu yang sudah tanpaku itu. Masih adakah aku di sana? Kurasa tidak, yang aku tahu kau pun sudah menutup segala kenangan yang terhenti itu. Kini yang mengisi ruang hatimu adalah makhluk lain yang sempat kau taruh di antara penghubung hati kita. Kau sembunyikan dia, bak musuh dalam selimut yang terlindungi batu karang. Dan itu ulahmu, kau yang mahir melindungi ia dalam antara penghubung hati kita. Kini di ruang hatiku pun sedang berusaha bahagia, sedang mencoba bangkit dari reruntuhan puing kenangan tentangmu. Tak perlu lagi di hubungkan kembali, karena di antara kita sudah ada jiwa yang kau sembunyikan dalam asa. Aku berharap di antara kita tidak lagi saling mematahkan, cukuplah, berbahagia saja kau dengan pilihanmu. Aku akan termangu dalam antara ruang hati itu.

Tertatih

Sekarang aku yang menyendiri dalam sudut sepi, tatkala harus tertatih menanggalkan bahagia yang sudah terhenti. Kita mungkin sudah tidak seirama, kita mungkin hanya sekadar kebahagiaan sementara. Tak abadi, seperti garis waktu yang terus melaju. Tentang kebahagiaan yang tertutup lara, hingga aku kira kau tempat kebahagiaan, nyatanya hanya sepintas kesementaraan. Luluh lantak sudah hati ini, sudah tak punya tawa, mati dalam tiap rima yang tercipta. Kita pernah sedekat nadi, dan akhirnya berujung di jauhkan pergi. Kau akan selalu kusematkan dalam setiap sedih, tertatih mencari ujung duka yang tak pernah sudah. Kita lebur dalam takdir. kita hancur dalam jarak, mengundang kerinduan yang perlahan berkerak.

Akhir yang Berakhir

Baiknya kita lupakan saja semua pengharapan. Percayalah, sakit sekali berharap dengan seorang yang jiwanya sudah bersama dengan hati yang lain. Manusia memang terkadang suka aneh. Katanya lebih baik mencari ketimbang mengutuk diri, katanya lebih baik mengharapi daripada diam dalam isak tangis yang tak jua henti. Padahal, yang di tuju pun sudah tak pernah menatap ke sini. Tapi, sudilah beberapa perasaan dibiarkan mengambang tanpa pijakan. Karena yang kita harapkan juga tidak memperdulikan. Beberapa rasa sudilah dibiarkan bungkam, itu jauh lebih nyaman. Dibandingkan pernyataan tapi tanpa sebuah balasan. Biarlah kenangan ini aku yang menyimpan, kau bahagia saja dengan tujuanmu yang selalu diharapkan. Biarlah aku jadi penyimpan ruang kenangan yang tak akan bisa hilang dalam ingatan.

Daun Gugur Meninggalkan Ranting

Kita pernah saling bergandengan, hingga pada akhirnya kita terpisah oleh sebuah keadaan. Aku berharap setelah semua kesedihan melanda, tidak ada lagi badai yang sporadis menghempaskan tubuh ini. Sekarang aku hanyalah ranting pohon, dan kau sehelai daun gugur yang terhempas oleh angin, ia direngkuh sampai terjatuh. Tapi, aku belajar dari ranting yang sepi itu, bahwa sebenarnya ranting itu sepi hanya sementara. Kau laksana daun gugur yang pergi meninggalkan ranting, tetapi kau lupa, bahwa ranting itu pun masih bisa menumbuhkan daun, yang lebih hijau dan segar. Begitupula kesedihan, kita relakan saja semuanya terhempas jauh. Karena mengikhlaskan yang meninggalkan itu lebih baik, kita akan dapat sehelai atau berjuta-juta kebahagiaan lagi yang akan tumbuh. Tak perlu takut, kebahagiaan akan terus bersama kita, selalu. Karena kebahagiaan itu seperti daun gugur yang meninggalkan ranting. Ia akan meninggalkan ranting itu dalam sepi, tapi ranting itu masih bisa menumbuhkan berbagai daun ...

Dapatkah Kita Kembali

Tidak ada yang mustahil untuk terus berharap pada sebuah perasaan. Dapatkah kita kembali ? Kau yang dulu aku dambakan, kau yang dulu menemani dalam kesenangan. Kini kau menjadi awan hitam yang luruh menjadi gemerlap. Aku tidak menyangka jika pada akhirnya kita berpisah. Dapatkah kita kembali ? Dapatkah aku kembali melihat rekah senyummu dikala kita bersama? Itu adalah ilusi yang paling menenangkan, sekarang, hanya bisa aku sematkan dalam diam. Di langit-langit kamar, aku selalu mengharapkanmu kembali. Karena kita pernah saling berjanji dan mengaminkan, hingga akhirnya kita berpisah oleh sebuah kesalahan. Jemari kita pernah saling menggenggam, pundakku pernah menjadi sandaranmu dalam kesedihan. Namun, seakan semua hilang begitu saja. Kau sudah pergi dengan sebuah kenangan yang selalu menghantuiku. Luruh sudah rindu ini tak ada tujuan.

Hujan

Ada sepi dalam dinginnya malam, hujan yang menemani dalam kelam kini menjadi pelepas rindu yang tak jua padam. Deras hujan semakin berjatuhan, serta pengharapan ini yang terus bercucuran. Aku memang hanya pecundang yang mengenang dikala hujan, aku hanya pecundang yang memujamu dalam angan. Hujan pernah mengantarkan rindu, tetapi tidak denganmu. Kau angkuh, untuk sekadar bertemu.   Tatkala hujan ini reda, aku akan terus menanti hangat pelukmu. Menanti datangmu, walaupun hanya sekadar melihatmu. Itu sudah cukup, karena kini hanya hujan yang bisa menyampaikan pengharapan padamu seorang yang tak jua datang.